Dan aku pun, terbata-bata membaca sejarah masa lalu, lamat-lamat masih aku ingat sosok mbah Harjo, waktu aku masih kecil. Aku sering diajak bermain oleh lek-lekku anaknya mbah Mento Sanet (mbah Yem) ke tempatnya mbah Harjo. Waktu itu langgarnya sudah ada, masih kuingat kalau tidak salah langgar itu mirip gubug di tengah sawah, tapi agak mending besar sedikit. Bangunannya di bikin rumah panggung, dengan alas galar (dari bambu yang disigrak-sigrak) dan tiang-tiang penyangganya dari kayu bambu, beratapkan genting. Kalau aku sedang bermain-main dengan teman-teman sering berlari-larian dan sembunyi di kolongnya. Dan pada waktu itu jika malam datang, gelap bukan main, maklum tidak ada lampu listrik. Yang ada hanya lampu tintir dan diyan teplok, dari minyak tanah. Dan konon juga, katanya bapak ibuku, aku sudah akrab dengan mbah Harjo sejak aku masih sangat kecil. Jika aku rewel dan banyak nangis, pasti aku dibawa ke tempat mbah Harjo untuk diruqyah.... yang kata orang-orang dulu namanya ”disuwuk”. Tapi itu aku sudah tidak ingat lagi. Yang kuingat, hanya ketika mbah harjo masih sugeng, aku diperlihatkan gaman beliau, sebilah keris kuno. Yang aku tidak tahu sekarang masih atau tidak, disimpan ahli warisnya barangkali. Itulah kenangan masa kecilku, dengan sosok mbah Harjo, pemilik tanah pekarangan, yang kemudian didirikan langgar kecil di atasnya.
Menurut kata orang-orang tua, seperti Pakdhe Yoso Wiratno (sekarang beliau sedang sakit.... mohon do’anya untuk kesembuhan beliau, semoga panjang umur dan diberkahi)... dan Pak Dhe Tarno Basuki, katanya, langgar itu sudah ada sejak habis Gestok/ Gestapu, jadi kurang lebih ya tahun 1966-an , kurang lebihnya.
Begitu pun, semangat dakwah yang bergelora, selalu menyisakan energi batin yang tidak pernah habis. Dakwah bagaikan dian yang tak kunjung padam, tidak pernah kehabisan bahan bakar. Sosok-sosok bersemangat, para pemuda kampung merintis kehidupan yang islami tidak pernah terlindas oleh putaran zaman. Semuanya terdokumentasi dengan baik dalam ingatan nan jernih. Terpatri dalam relung hati. Di sana ada, sosok Mas Yusron (Mas Karman putranya mbah Wiryo Jingun), beliaulah pemuda kampung yang mendapatkan pendidikan tingginya di Universitas ternama di kota Solo, calon guru Bahasa inggris yang pintar menarik simpati anak-anak untuk sregep ngaji. Disamping beliau ada Pak Bus (begitu kami memanggil Pak Busroni, anaknya mbak Ruslan, Gonggangan, Samporan Lor), beliau adalah ustadz yang memiliki background pendidikan keagamaan dari UNIS (sekarang STAIMUS), beliau termasuk assabiqunal awwalun generasi dakwah di Desa Giriroto, bersama Bapak Gino, dan lain-lain, sebelum generasi Ali Muchson, dan semasanya. Dibelakang sosok Mas yusron, Pak Bus, Pak Gino, ada lek Parno, Parno tengah, mas Joko, lek Narimo, dll.
Begitulah, sejarah masa lalu yang penuh lika dan liku, menjadi kenangan manis yang begitu berharga. Walaupun kala itu, tantangan dakwah begitu pahit mendera. Namun dengan pertolongan dan kebesaran Allah SWT, secercah hidayah dan sinar harapan itu telah memancar.